Senin, 12 November 2007

Di sebelah utara jalan Ganesha, berdiri sebuah kampus asri nan bau tai, ITB. Kampus yang katanya berisi org2 pinter tapi ternyata ada yang dodol ini (gw), sangat terkenal. Terkenal dengan banyak hal, dengan keasrian kampusnya, dengan kebesaran namanya, dengan tinggi nilai SPMB-nya, dengan patung dewa ilmu pengetahuan'a, dengan kearoganannya, dengan prestisenya, dengan mahal bayarannya, dan dengan bau tai burungnya. Kalau orang mengunjungi ITB, mereka pasti akan melihat gedungnya, melihat kolamnya, melihat gerbangnya, melihat labteknya, dan semua yang (mereka tahu) bagian dari ITB. Namun ada yang mereka lupa, ada yang orang lupa, ada yang mahasiswa lupa, dan ada yang selalu terlupa, yaitu sebuah tugu kubus si depan ITB, di depan taman ganesha. Entah ini pantas disebut tugu atau tidak, karena memang ini tidak terlihat seperti tugu, mungkin lebih pantas disebut maket padang rumput liar, karena memang sangat banyak rumput liar yang tumbuh dibawahnya. Atau lebih pantas disebut tugu komersil, karena tukang batagor dan tukang minuman sangat menjamur disini. Menghilangkan kemegahan dari sebuah tugu. Menghilangkan makna tugu itu sendiri dibangun. Tugu ini, disebut tugu kubus karena ada kubus-kubus besi yang tercantol(bahasa baku neh) diatasnya. Tapi bukan itu yang menarik. Bukan itu yang dilupakan. yang menarik adalah dua prasasti yang dibangun di kedua sisinya. Di sisi kanan terukir sebuah puisi yang sangat menarik.

Di hari-hari api, di bulan-bulan darah.
Bersama yang lain kami berada disana.
Buku di tangan kiri, senapan di tangan kanan.
Beradu bahu kami menjagamu, Ibu Pertiwi.

Bagimu negeri kembang-kembang keremajaan/
Telah kami hiaskan dalam untai-rangakaian.
Sebagian telah berguguran, sebagian kini telah layu.
Namun wanginya akan semerbak selalu.
Selamanya.


Yak, puisi yang sangat menyentuh hati saat pertama kali ngebacanya. Ga cuma itu aja, di sini, di sisi kanannya, di bagian yang lagi gw liat sekarang, terukir nama para personil ganesha yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan. Nama para pahlawan. Nama yang terlupakan...


Kebesaran suatu bangsa dilihat dari seperti apa mereka menghargai pahlawannya

1 komentar:

sayfurrahman The Long Hand mengatakan...

Hmmm, mungkin emang ketidakpedulian macam itu menular, yeh. Di Malang, di sebuah kampus yang mungkin menairuah juga, gak ada tugu pahlawan terlupakan kaya gitu. Tetukangan pun gak beranak-pinak dibawah prasasti apapun. Bahkan orang2 masih tetep gak rela ditabok tiba-tiba. Lebih jauh lagi, gak ada satu mahasiswa dodol pun di Biologi, yang ada di Teknologi Pertanian. kacau, lama2 dunia pertanian bakal beternak batu kalo gini..

Mungkin hanya tangan yang sama dengan yang merobek-robek piagam ka'bah lah yang menjaga prasasti itu.